TRANSFORMASI PARADIGMA HUKUM PIDANA INDONESIA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR SATU TAHUN 2023

 

Oleh: ARIANTA ERNALA KABAN, S.H.

PENDAHULUAN

Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada 2 Januari 2023 menandai transformasi fundamental sistem hukum pidana Indonesia. Regulasi ini mengakhiri ketergantungan hampir delapan dekade terhadap Wetboek van Strafrecht, produk kolonial Belanda yang berlaku sejak 1918. Pembaharuan ini merepresentasikan dekolonialisasi sistem hukum sekaligus konstruksi paradigma keadilan berbasis Pancasila dan konstitusionalisme Indonesia (Nasution et al., 2024). Transformasi paradigmatik dalam KUHP baru memperlihatkan pergeseran dari orientasi retributif yang menekankan pembalasan, menuju pendekatan restoratif dan korektif yang mengutamakan pemulihan serta reintegrasi sosial. Perubahan filosofis ini mencerminkan evolusi pemikiran hukum pidana kontemporer yang menempatkan kemanusiaan, keadilan substantif, dan perlindungan HAM sebagai pilar utama sistem pemidanaan. Undang-undang ini juga mengakomodasi kompleksitas kejahatan modern yang berkembang seiring kemajuan teknologi informasi dan globalisasi. Pembaharuan substansial mencakup pengakuan living law, ekspansi subjek hukum pidana dengan memasukkan korporasi, diversifikasi sanksi pidana melalui pidana alternatif, serta penguatan keadilan restoratif. Namun, implementasinya menghadapi tantangan kompleks terkait kesiapan aparat penegak hukum, harmonisasi regulasi sektoral, dan sosialisasi kepada masyarakat. Artikel ini menganalisis transformasi paradigma hukum pidana Indonesia melalui kajian dimensi filosofis, substansial, dan implementatif UU Nomor 1 Tahun 2023 (Undang-Undang RI, 2023).

DEKOLONIALISASI HUKUM PIDANA

Proyek pembaharuan hukum pidana Indonesia dimulai sejak awal kemerdekaan, ketika founding fathers menyadari pentingnya sistem hukum yang mencerminkan kedaulatan bangsa. Wetboek van Strafrecht yang diberlakukan melalui UU Nomor 1 Tahun 1946, meskipun mengalami penyesuaian parsial, tetap mempertahankan struktur dan filosofi hukum pidana kolonial yang berakar pada pemikiran aliran klasik abad ke-18 dengan pendekatan legalistik dan formalistik. Proses penyusunan KUHP baru dimulai sejak 1963, ketika RUU pertama kali diajukan ke DPR. Proses legislasi 59 tahun ini mencerminkan upaya mengakomodasi kepentingan berbagai kelompok masyarakat dan merumuskan norma hukum pidana yang sesuai nilai-nilai konstitusional Indonesia (Nugraha et al., 2025).

Dekolonialisasi melalui UU Nomor 1 Tahun 2023 dilandasi empat misi fundamental: (1) rekodifikasi menggantikan Wetboek van Strafrecht; (2) demokratisasi hukum pidana dengan partisipasi publik dan perlindungan HAM; (3) konsolidasi mengintegrasikan peraturan pidana tersebar; dan (4) adaptasi dengan perkembangan hukum internasional dan dinamika kejahatan kontemporer. Struktur normatif KUHP baru terdiri dari 632 pasal dalam dua buku: Buku Kesatu memuat aturan umum dan Buku Kedua mengatur tindak pidana spesifik. Peningkatan dari 569 pasal dalam WvS menunjukkan perluasan cakupan untuk mengakomodasi kejahatan modern, disertai perubahan terminologi dan sistematika yang lebih koheren.

PERGESERAN PARADIGMA PEMIDANAAN

Transformasi fundamental dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 terletak pada pergeseran paradigma tujuan pemidanaan dari orientasi retributif menuju pendekatan restoratif dan korektif yang lebih humanis. Paradigma retributif dalam WvS menempatkan pemidanaan sebagai instrumen pembalasan dengan asumsi penderitaan pelaku memberikan efek jera. Paradigma ini dikritik karena mengabaikan pemulihan korban, rehabilitasi pelaku, dan reintegrasi sosial. Pasal 51 UU Nomor 1 Tahun 2023 merumuskan tujuan pemidanaan yang komprehensif: mencegah tindak pidana, memasyarakatkan terpidana melalui pembinaan, menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa damai, serta membebaskan rasa bersalah terpidana. Formulasi ini mencerminkan adopsi teori integratif yang mengombinasikan berbagai tujuan pemidanaan dari prevensi hingga restorasi hubungan sosial.

Penerapan prinsip insignifikansi dalam KUHP baru merupakan manifestasi paradigma hukum progresif yang mengutamakan keadilan substantif di atas kepastian hukum formal. Prinsip ini memungkinkan aparat tidak memperlakukan setiap pelanggaran sebagai tindak pidana yang harus diproses formal, terutama untuk perbuatan minor. Pendekatan ini sejalan dengan konsep ultimum remedium yang menempatkan pidana penjara sebagai upaya terakhir (Arum & Maulidah, 2025). Implementasi paradigma restoratif mendapat landasan kuat melalui Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2024. Keadilan restoratif memfasilitasi dialog dan mediasi antara pelaku, korban, dan masyarakat untuk mencapai kesepakatan penyelesaian konflik yang memulihkan kerugian korban dan memungkinkan reintegrasi pelaku tanpa proses peradilan formal yang stigmatif. Mekanisme ini dapat diterapkan mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan.

INOVASI SUBSTANSIAL DALAM SISTEM HUKUM PIDANA

UU Nomor 1 Tahun 2023 menghadirkan inovasi substansial yang mengubah lanskap hukum pidana Indonesia. Pengakuan terhadap living law sebagai sumber hukum pidana merupakan inovasi mendasar. Pasal 2 menyatakan ketentuan hukum pidana tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan seseorang patut dipidana walaupun tidak diatur dalam undang-undang. Pengakuan ini mengimplementasikan asas legalitas materiil yang memberikan fleksibilitas hakim mempertimbangkan nilai-nilai hukum adat dan norma sosial. Perluasan subjek hukum pidana dengan memasukkan korporasi merupakan respons terhadap kejahatan korporasi yang kompleks dan menimbulkan kerugian masif. KUHP baru mengatur komprehensif pertanggungjawaban pidana korporasi, termasuk kriteria perbuatan korporasi, siapa yang bertanggung jawab, serta jenis pidana yang dapat dijatuhkan. Pengaturan ini mengisi kekosongan hukum dalam WvS yang hanya mengenal orang perseorangan sebagai subjek hukum pidana.

Diversifikasi sanksi pidana merupakan inovasi signifikan. Selain pidana penjara dan denda, undang-undang ini memperkenalkan pidana alternatif seperti kerja sosial, pengawasan, pembatasan kebebasan bergerak, dan pidana tutupan bagi pelaku dengan maksud yang patut dihormati. Pidana kerja sosial memungkinkan terpidana melakukan pekerjaan sosial tanpa menjalani penjara, sehingga mempertahankan hubungan keluarga dan pekerjaan. Transformasi sistem hukum pidana Indonesia juga mencakup perluasan asas yurisdiksi yang memungkinkan hukum pidana Indonesia diterapkan terhadap tindak pidana di luar wilayah Indonesia dalam kondisi tertentu. Perluasan yurisdiksi ini penting dalam konteks kejahatan transnasional seperti terorisme, perdagangan orang, pencucian uang, dan kejahatan siber yang melampaui batas teritorial (Nugraha et al., 2025).

KEADILAN RESTORATIF DAN PERLINDUNGAN KELOMPOK RENTAN

Penguatan mekanisme keadilan restoratif dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 menandai perubahan paradigmatik dalam penyelesaian perkara pidana. Keadilan restoratif bukan sekadar prosedur teknis, melainkan kerangka epistemologis dan ontologis baru yang menempatkan pemulihan hubungan sosial sebagai tujuan utama sistem peradilan pidana. Pendekatan ini berangkat dari pemahaman bahwa kejahatan juga merupakan pelanggaran terhadap hubungan konkret antara pelaku, korban, dan masyarakat yang memerlukan penyembuhan dan rekonsiliasi. Proses keadilan restoratif melibatkan dialog langsung antara pelaku dan korban yang difasilitasi mediator terlatih untuk mencapai kesepakatan pertanggungjawaban pelaku yang memulihkan kerugian korban. Kesepakatan dapat berupa permintaan maaf, restitusi, kerja sosial, atau bentuk pertanggungjawaban lain. Keadilan restoratif dapat diterapkan mulai dari diversi di tingkat penyidikan, penghentian penuntutan, hingga putusan pemaafan hakim atau judicial pardon.

KUHP baru memberikan perhatian khusus pada perlindungan kelompok rentan, termasuk anak, perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal. Pengaturan tindak pidana kekerasan seksual, perdagangan orang, eksploitasi anak, serta diskriminasi dan kekerasan berbasis gender menunjukkan komitmen memberikan perlindungan hukum lebih kuat. Perlindungan korban diperkuat melalui pengaturan hak-hak korban mendapatkan informasi, pendampingan, restitusi, kompensasi, dan pemulihan lainnya. Restitusi merupakan ganti rugi oleh pelaku atau pihak ketiga sebagai kewajiban dalam putusan pemidanaan. Kompensasi merupakan ganti rugi oleh negara jika pelaku tidak mampu memberikan restitusi. Mekanisme ini merupakan manifestasi pendekatan victim-centered yang menempatkan kepentingan korban sebagai prioritas.

TANTANGAN IMPLEMENTASI DAN HARMONISASI REGULASI

Meskipun disahkan 2 Januari 2023, pemberlakuan UU ditunda hingga 2 Januari 2026 untuk persiapan implementasi komprehensif. Periode transisi dimaksudkan untuk sosialisasi masif, penyusunan peraturan pelaksana, harmonisasi dengan peraturan sektoral, serta persiapan infrastruktur dan SDM. Tantangan terbesar adalah perubahan mindset aparat penegak hukum yang terbiasa paradigma retributif (Rizki & Siregar, 2025). Perubahan paradigma memerlukan transformasi fundamental dalam cara aparat memahami fungsi hukum pidana, menilai perbuatan, memutuskan tindakan, serta berinteraksi dengan pelaku, korban, dan masyarakat. Transformasi ini memerlukan pembelajaran berkelanjutan melalui pelatihan intensif, workshop, seminar, serta pengembangan pedoman teknis. Harmonisasi peraturan sektoral merupakan agenda penting. Pasal 614 mengamanatkan penyesuaian seluruh undang-undang dan peraturan daerah yang memuat ketentuan pidana dalam waktu lima tahun. Amanat ini ditindaklanjuti dengan dimasukkannya RUU Penyesuaian Pidana dalam Program Legislasi Nasional 2025-2029. Harmonisasi penting untuk mencegah konflik norma dan inkonsistensi yang menimbulkan ketidakpastian hukum.

Sosialisasi kepada masyarakat mengenai perubahan substansial merupakan aspek krusial. Masyarakat perlu memahami hak dan kewajibannya, perubahan pengaturan tindak pidana, serta mekanisme baru seperti keadilan restoratif. Sosialisasi harus dilakukan sistematis dan masif dengan melibatkan berbagai stakeholder, menggunakan berbagai media, serta disesuaikan dengan konteks sosial budaya masyarakat.Kesiapan infrastruktur pendukung juga merupakan tantangan. Penerapan pidana alternatif memerlukan infrastruktur dan mekanisme pengawasan yang belum sepenuhnya tersedia. Penerapan keadilan restoratif memerlukan ketersediaan mediator terlatih, ruang mediasi memadai, serta sistem pencatatan dan pelaporan. Investasi dalam pengembangan infrastruktur memerlukan komitmen dan dukungan politik kuat serta alokasi anggaran memadai.

PENUTUP

Transformasi paradigma hukum pidana Indonesia melalui UU Nomor 1 Tahun 2023 merupakan pencapaian monumental yang menandai berakhirnya era ketergantungan terhadap sistem hukum pidana kolonial dan dimulainya era baru hukum pidana nasional yang berdaulat, modern, dan berkeadilan. Pergeseran paradigma dari retributif menuju restoratif, pengakuan living law, perluasan subjek hukum pidana, diversifikasi sanksi pidana, serta penguatan keadilan restoratif dan perlindungan korban merupakan inovasi substansial yang menunjukkan komitmen Indonesia membangun sistem hukum pidana humanis, responsif, dan selaras dengan nilai-nilai konstitusional serta kearifan lokal bangsa. Keberhasilan transformasi ini bergantung pada efektivitas implementasi yang memerlukan persiapan komprehensif: perubahan mindset aparat, harmonisasi regulasi, sosialisasi masyarakat, dan pengembangan infrastruktur pendukung. Periode transisi hingga 2026 harus dimanfaatkan optimal agar pemberlakuan KUHP baru berjalan lancar dan memberikan dampak positif signifikan bagi sistem peradilan pidana Indonesia. Ke depan, diperlukan evaluasi berkelanjutan untuk mengidentifikasi kendala dan merumuskan solusi tepat. Penelitian empiris mengenai efektivitas keadilan restoratif, dampak pidana alternatif terhadap residivisme, serta persepsi masyarakat akan memberikan masukan berharga bagi penyempurnaan sistem hukum pidana nasional. Kolaborasi antara akademisi, praktisi hukum, pembuat kebijakan, dan masyarakat sipil dalam mengawal implementasi dan evaluasi KUHP baru akan menjadi kunci keberhasilan transformasi paradigma hukum pidana Indonesia menuju sistem yang lebih berkeadilan, humanis, dan berdaulat.

DAFTAR PUSTAKA

Arum, S. K. K., & Maulidah, K. (2025). Pembaruan Hukum Pidana Melalui Penerapan Prinsip Insignifikansi: Kajian dalam KUHP Baru Indonesia. Jurnal Hukum Ekualitas, 1(1), 57–69. https://doi.org/10.56607/73krj443

Nasution, M. I., Ali, M., & Lubis, F. (2024). Pembaruan Sistem Pemidanaan di Indonesia: Kajian Literatur atas KUHP Baru. Judge: Jurnal Hukum, 05(01), 16–23.

Nugraha, R. S., Rohaedi, E., Kusnadi, N., & Abid, A. (2025). Transformasi Sistem Hukum Pidana di Indonesia : Perbandingan Komprehensif antara KUHP Lama dan KUHP Baru. Reformasi Hukum, 29(1), 1–21. https://doi.org/10.46257/jrh.v29i1.1169

Rizki, A., & Siregar, R. A. (2025). Tantangan Perubahan Dan Perkembangan KUHP Baru di Indonesia. Jurnal Hukum Mimbar Justitia ( JHMJ ), 11(1), 205–217. https://doi.org/10.35194/jhmj.v11i1.5463

Undang-Undang RI. (2023). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

 

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url